Standard Post

UU Pesantren dan Misi Pemerintah Membangun SDM


Oleh: H. Ruslan M. Daud*

Perayaan hari Santri Nasional di tahun 2019 yang mengusung tema ‘Santri Indonesia untuk Perdamain Dunia’ memberikan nuansa berbeda dengan disahkan Undang-Undang Pesantren (atau dalam konteks Aceh dikenal dengan Dayah) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 24 September 2019 lalu. Terlepas dari pro dan kontra, kehadiran UU Pesantren seyogiayanya dilihat sebagai semangat untuk memajukan pembangunan sumber daya manusia sebagaimana visi besarnya Bapak Presiden Joko Widodo dan Kiai Haji Ma’ruf Amin dalam pemerintahan akan datang.

Penting untuk kita ingat bersama bahwa UUD mengamanatkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas, setara dan adil kepada setiap anak bangsa (diantaranya tertuang di Pasal 21). Untuk itu, UU Pesantren merupakan langkah konkrit negara dalam upaya mengisi kemerdekaan Indonesia dengan membentuk generasi muda (santri) yang unggul dan mampu menghadapi perkembangan zaman.

Kehadiran UU ini memberikan dampak positif dari aspek regulasi, anggaran dan sistem manjerial pendidikan pesantren. Secara regulasi, selama ini pesantren sebagai sebuah subsistem lembaga yang menyediakan pendidikan Islam disisipkan dalam berbagai produk hukum. Di antaranya di dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU nomor 12  tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Selain itu, terdapat di Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Keputusan Presiden nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri, Peraturan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Peraturan Menteri nomor 18 Tahun 2015 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren, dan Peraturan Menteri Agama RI nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma‘had Aly. Semua regulasi di atas belum mengatur sistem pendidikan Islam di Pesantren secara menyeluruh mulai dari aspek regulasi, perencanaan, penganggaran, implimentasi hingga evaluasi.

Dengan lahirnya satu produk hukum setingkat undang-undang yang mengatur secara khusus tentang Pesantren tentu saja akan memberikan kekuatan lebih dari produk-produk hukum yang sudah ada selama ini. Dalam konteks ini, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat UU ini sebagai kekuatan dan pendukung bukan dilihat sebagai kelemahan atau tumpang tindih peraturan. Perbedaan produk hukum tersebut tentu saja memberikan dampak yang berbeda bagi pesantren.

Kehadiran produk hukum setingkat UU yang mengatur secara utuh dan menyeluruh sudah pasti akan memberikan dukungan lebih besar bagi pengembangan pesantren ke depan.

Sebagai negara hukum, kehadiran UU Pesantren tentu akan memberikan konsekuensi-konsekuensi berkekuatan hukum lainnya. Salah satunya yaitu penganggaran negara terhadap pesantren. Selama ini, Pesantren tidak menjadi fokus penting dalam sistem penganggaran pemerintahan kita. Pesantren hanya mendapatkan potongan kecil dari porsi anggaran pendidikan yang jumlahnya 20 persen dari anggaran nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD (Pasal 31 ayat 4).

Intinya perhatian pemerintah terhadap pesantren tidak seserius mengurusi pendidikan umum lainnya. Salah satu contoh sederhana adalah program beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan di bawah Kementerian Keuangan. Alokasi beasiswa untuk santri terlalu kecil proporsinya dibandingkan dengan target penerima dari sektor-sektor lainnya.  

Di dalam pasal 15 UU Pesantren disebutkan bahwa pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebagai subsistem pendidikan nasional, pesantren berhak mendapatkan dukungan anggaran yang proporsional, adil, dan  setara, baik di aspek perluasan akses, peningkatan mutu, maupun aspek manajemen.

Bukti empiris menunjukkan bahwa masih sangat banyak lembaga pendidikan Islam yang belum memiliki infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Selain itu, kesejahtaraan tenaga pengajar dan tenaga kependidikan juga masih sangat minim. Misalkan, tidak ada skema khusus yang mengatur tentang kesejahteraan guru seperti program sertifikasi guru di dalam sistem pendidikan nasional.

Memang kendala selama ini belum adanya regulasi yang dapat dijadikan payung hukum  untuk keberpihakan anggaran terhadap Pondok Pesantren. Pengalaman saya sebagai Bupati Bireun 2012-2017, kita juga tidak bisa berbuat banyak sebagai pemerintah daerah karena Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah membatasi bahwa agama merupakah salah satu otoritas absolut pemerintah pusat yang bersifat vertikal.

Oleh karena itu, kita berkeyakinan bahwa UU Pesantren ini akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mengayomi dan memberikan perhatian untuk pesantren terutama dari aspek anggaran.

Konsekuensi selanjutnya dapat dilihat dari aspek manajerial pendidikan pesantren itu sendiri. Perlu diketahui bahwa pendidikan Islam (madrasah) menyumbang 20 persen lebih terhadap pendidikan nasional di Indonesia. Dari angka tersebut, 90 persen lebih dikelola oleh pihak swasta dimana kontrol pemerintah tidak terlalu besar. Salama ini, kurikulum dan sistem pembelajaran di pesantren belum tertata secara sistematis sebagaimana halnya di lembaga pendidikan umum. Hal ini memiliki resiko terhadap lulusan pesantren sendiri yang belum tentu mendapatkan pengakuan yang setara. Untuk itu, kehadiran UU Pesantren dengan sendirinya akan memberikan dampak dalam pengaturan kurikulum dan sistem pembelajaran di Pesantren. Aspek ini lah yang menerima banyak kritikan dalam proses pembuatan UU Pesantren.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kehadiran UU Pesantren akan mengintervensi kemandirian dan kekhususan pesantren yang sudah berlangsung lama. Sekali lagi, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat UU Pesantren sebagai jawaban atas tantangan zaman yang semakin komplek di disruptive era ini.

Lulusan pesantren harus mampu bersaing dengan lulusan dari lembaga pendidikan umum. Sederhananya, penataan kurikulum adalah konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan capain tersebut.

Mitigasi Resiko

Pengakuan pesantren sebagai satu kesatuan dari pendidikan nasional (subsistem) memiliki konsekuensi logis terhadap penjaminan mutu pendidikan pesantren tersendiri. Kualitas pendidikan di pesantren akan berdampak serius terhadap capaian pembangunan SDM kita secara nasional. Untuk itu, sistem penjaminan mutu baik dari aspek internal maupun eksternal harus disusun secara matang.

Hal ini penting untuk mengantisipasi terciptanya citra buruk pesantren di dalam sebuah kesatuan sistem pendidikan nasional. Sebagai alumni dayah dan orang yang peduli terhadap pendidikan dayah, saya tidak ingin pesantren dilihat sebagai sumber masalah tapi justru sebaliknya, pesantren harus menjadi penyumbang positif yang berbeda terhadap sistem pendidikan nasional kita. Sekali lagi, penjaminan mutu adalah mutlak untuk dilakukan secara serius.

Selanjutnya terkait identitas dan ciri khas pesantren. Selama ini kekuatan pesantren terletak pada sikap kerelawanan dan kegotong-royongan masyarakat dalam menyediakan layanan pendidikan Islam. Dalam kajian naskah akademik UU ini ditemukan bahwa kepemilikan tanah dan keuangan kepemilikan tanah pada sistem pendidikan Islam pada umumnya diperoleh dari sumbangan orang tua dan masyarakat melalui wakaf.

Begitu juga upah dan jerih tenaga pengajar yang selama ini lebih menitik beratkan pada sikap kerelawanan para tenaga pendidik yang merasa memiliki moral imperative dalam mendidik anak bangsa. Kita tentu saja tidak mengharapkan kehadiran UU Pesantren justru mengurangi sikap kerelawanan tersebut.

Selain itu, keunikan pesantren yang menitikberatkan pada sistem pembelajaran Agama yang bersumber pada referensi-referensi klasik (kitab kuning) jangan sampai dikesampingkan demi mengejar pendidikan umumnya. Semangat mengeluarkan UU Pesantren adalah ‘menguatkan’ pesantren bukan malah mengaburkan apalagi melemahkan nilai-nilai yang sudah lama berlangsung berabad-abad di dunia pesantren.

Terakhir yang paling penting adalah keseriusan pemerintah untuk menindaklanuti turunan dari UU ini serta implimentasinya di lapangan. Dari domain legislatif sudah selesai, selanjutkan adalah otoritasnya pemerintah untuk memikirkan turunan dan impimentasinya. Saya bersama teman-teman anggota dewan dari Fraksi PKB secara khusus di bawah kepemimpinan KH Muhaimin Iskandar dan dukungan ulama di Aceh dan Indonesia pada umumnya, akan mengawal proses implimentasi UU ini dengan sangat serius. Selamat hari Santi Nasional 2019!

*Penulis merupakan alumni Dayah Mudi MesraSamalanga, Bupati Bireun 2012-2017 dan Anggota DPR RI Fraksi PKB 2019-2024 dari Dapil Aceh II.

 

TERKAIT

    -