Butuh Kebijakan Revolusioner untuk Benahi Ibu Kota
Jakarta- Persoalan klasik ibu kota, yaitu banjir dan macet tampaknya masih akan terus menghantui warga Jakarta. Butuh kebijakan revolusioner untuk mengurai benang kusut bencana yang mengakibatkan kerugian triliunan rupiah tersebut.
Tanpa penanganan serius, dapat dipastikan ibu kota akan bermetamorfosa menjadi lautan kendaraan dan tenggelam oleh banjir. “Jika tidak diantisipasi sejak dini, bisa jadi Jakarta akan menjadi ibu kota terburuk di dunia. Sungguh ironis bukan?,” ujar anggota Komisi V DPR RI Marwan Ja’far kepada redaksi www.dpp.pkb.or.id, Selasa (19/11/2013).
Fakta bahwa beberapa pekan terakhir kemacetan terjadi dimana-mana menjadi lampu kuning perlunya penanganan segera. Apalagi ditambah datangnya musim hujan, membuat kemacetan semakin parah karena banyaknya genangan air di jalanan. Bahkan banjir sudah menggenangi beberapa titik di ibukota. Situsai ini, menurut Marwan, menunjukkan bahwa masalah yang krusial di Jakarta belum tersentuh sama sekali.
Beberapa solusi yang diwacanakan oleh banyak pengamat dan ahli untuk mengatasi kemacetan dan banjir di ibu kota dengan menerapkan Pola Transportasi Massal secara komprehensif, tidak parsial, revitalisisasi saluran air, dan lain-lain, nampaknya sulit direalisasikan dalam waktu cepat karena pembangunan jalan secara horizontal sangat sulit. Minimnya lahan dan pembebasan lahan yang sering memakan waktu lama dan berbelit-belit juga menjadi persoalan tersendiri.
“Misalnya dalam bentuk Mass Rapid Transit, Light Rail Transit, Bus Rapid Transit serta water ways (angkutan sungai) dalam bentuk kapal motor, yang bisa menghubungkan semua wilayah di satu kawasan seperti Jabodetabek,” ujar Ketua Fraksi PKB tersebut.
Marwan menambahkan, pembenahan angkutan massal yang sudah tidak layak pakai, baik dengan peremajaan atau melakukan penggantian yang baru sekaligus menertibkan dan mengatur trayek agar tidak tumpang tindih yang justru menimbulkan kemacetan baru. Opsi kebijakan mengatur bus sedang untuk jalan penghubung antar wilayah dan mikrolet untuk melayani angkutan lingkungan, nampaknya juga masih mengalami kendala.
“Sebenarnya kita juga bisa mencontoh Singapura yang telah berhasil mengurangi kemacetan dengan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP), yakni pengguna kendaraan pribadi akan dikenai biaya tambahan melintasi jalan tertentu. UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bisa dijadikan landasan untuk penerapan ERP tersebut,” ulasnya. Tapi, sambung dia, ide tersebut nampaknya juga belum bisa diterapkan di Jakarta.
Kebijakan pelarangan jalur busway dalam keadaaan darurat, menurut Marwan, juga menambah kemacetan, karena jalur busway mengambil badan jalan kendaraan umum, sementara jalan untuk kendaraan umum tidak ditambah atau diperlebar sedangkan kendaraan umum tidak ada pengurangan bahkan bertambah setiap hari.
“Harus ada kebijakan revolusioner untuk mengatasi kemacetan di Jakarta ini karena tingkat kemacetannya sudah akut. Kemacetan Jakarta sudah menjadi momok bagi semua orang dan tidak pandang bulu. Kota Jakarta sudah seperti showroom mobil di jalanan. Kemacetan Jakarta tidak hanya merugikan perekonomian orang per orang tapi juga sudah merugikan perekonomian nasional,” tegasnya.
Untuk itu, semua pihak harus memikirkan dan membantu Jakarta dalam mengatasi kemacetan dan ancaman banjir yang terjadi. Pemerintah pusat dan daerah harus sinergi dan saling membantu bukan saling menonjolkan egonya masing-masing.
“Yang menjadikan macet bukan hanya karena padatnya penduduk Jakarta, tapi disebabkan juga oleh penduduk sekitar wilayah Jakarta yang bekerja di Jakarta. Sehingga persoalan macet tidak hanya dibebankan ke Pemerintah DKI saja, tapi harus dipikirkan bersama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, dan sekitarnya),” Marwan menegaskan.
Melihat kompleksitas persoalan macet dan banjir perlu ada terobosan hukum oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi DKI, para tokoh nasional dan para ahli transportasi, ahli tata kota, dan ahli-ahli lainnya yang terkait dengan banjir dan kemacetan. Jika perlu dikeluarkan perppu tentang penanganan macet dan banjir di Jakarta. Karena justru masalah macet dan banjir di Jakarta lah yang mendesak untuk segera diselesaikan.
“Mereka semua harus bicara di panggung nasional agar memberikan masukan dan ide-ide segar untuk atasi macet dan banjir di Jakarta. Jika tidak segera ambil tindakan konkrit Jakarta akan menjadi kota yg tidak berbentuk,” tandasnya.
TERKAIT