Standard Post

Ketum PKB Perintahkan FPKB Hentikan Usulan Revisi UU Pemilu


PKBNews, JAKARTA - WAKIL Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi PKB (FPKB) Luqman Hakim menegaskan, Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Gus AMI memerintahkan FPKB di DPR untuk menghentikan usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang merevisi UU Pemilu Nomor 7/2017 dan UU Pilkada Nomor 10/2016.

"PKB memandang upaya revisi Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019 kemarin," ucapnya.

Luqman menambahkan, setidaknya PKB melihat terdapat sembilan persoalan persoalan. Pertama, banyaknya penyelenggara Pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada pemilu 2019 akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara. Kedua, praktik money politic pada pemilu 2019 makin masif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan pemilu 2014 dan 2009. Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ketiga, UU 7/2017 yang mengatur pemilu gagal mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik.

"Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan Pemilu," tuturnya.

Keempat, sambung dia, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan pemilu belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan.Aturan Pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan. Kelima, UU Pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan. Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan.

Keenam, lanjut dia, aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah. Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan.

"Contoh, satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk. Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk," urai Luqman.

Ketujuh, lanjut dia, aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat, menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara. Kedelapan, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak pemilu 2009, perlu dievaluasi.

Apakah sistem ini terbukti dapat menjamin kemurnian suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara yang dilaksanakan melalui pemilu, atau malah sebaliknya. Terakhir, UU Pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu, terutama pada pemungutan dan penghitungan suara.

Dalam pandangan Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar, tutur Luqman, deretan problematika aturan Pemilu di atas, harus diperbaiki dengan matang, tidak terburu-buru serta membutuhkan keterlibatan aktif semua elemen masyarakat sipil.

"Agar keinginan mulia memperbaiki undang-undang pemilu dapat dihindarkan dari jebakan interes politik jangka pendek yang bersifat elitis, seperti yang sering terjadi pada pembahasan regulasi pemilu sebelumnya," tuturnya.

 

TERKAIT

    -