Standard Post

Ini Alasan PKB Menolak Rencana Kenaikkan Cukai


PKBNews - SETELAH Nahdlatul Ulama (NU) berteriak lantang menolak rencana pemerintah menaikkan cukai sebesar 23 persen dan harga eceran rokok mencapai 35 persen, kini giliran anak kandung NU, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak rencana tersebut karena akan berdampak pada keberlangsungan industri tembakau kelas menengah dan bawah.

"Penolakan dilakukan karena kenaikan tersebut terlalu tinggi, dan bisa mengancam keberlangsungan industri tembakau serta pengolahannya," tegas Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Migran Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB, Dita Indah Sari, kemarin.

Kata Dita kenaikan cukai rokok yang bakal diwujudkan pemerintah pada awal 2020 mendatang, merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir. Dan itu akan mempengaruhi keberlangsungan industri di Tanah Air.

"PKB tak menolak 100 persen keputusan kenaikan cukai pemerintahan tersebut. Pihaknya hanya meminta pemerintah mengkaji ulang besaran kenaikan cukai rokok itu menjadi hanya 12-15 persen saja," tuturnya.

Aktivis buruh ini memastikan bahwa partai yang dinahkodai Gus Muhaimin ini lebih tegasnya menyetujui kenaikkan cukai, tapi tidak setuju dengan besaran kenaikkan tersebut.

"PKB tidak ingin melihat industri menengah dan kecil gulung tikar," ucap Dita.

Dita mengingatkan, jika pemerintah tetap ngotot menaikkan cukai rokok dengan tinggi, maka keputusan itu bisa berakibat buruk pada industri. Efek dominonya bahkan, kenaikan bisa merugikan buruh pabrik rokok dan petani tembakau di seluruh Indonesia.

"Dampak buruk kenaikan cukai sebesar 23 persen akan mengakibatkan penurunan konsumsi rokok. Penurunan konsumsi rokok akan membuat pabrik akan mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Pengurangan jumlah tenaga kerja katanya bisa mengancam jutaan jiwa," katanya.

Dia menambahkan, berdasarkan catatannya, paling sedikit ada 150 ribu buruh, 60 ribu karyawan, 2,3 juta petani tembakau dan 1,6 juta petani cengkeh, 2,9 juta pedagang eceran, yang hingga kini masih menggantungkan hidupnya dari industri hasil tembakau.

"Pabrik rokok akan mengurangi tenaga kerja dan akan mengurangi pembelian tembakau dari petani, akibatnya (tembakau) petani tidak laku. Atau kalaupun laku, harganya buruk," ujarnya.

Lebih jauh Dita berkata, pada tahun 2012 saja, terdapat 1.000 pabrik rokok yang beroperasi. Namun, akibat tekanan kenaikan cukai dan kampanye antirokok, kini jumlah pabrik berkurang signifikan hingga tersisa 456 saja di 2018.

"Jika kenaikan tarif cukai dilakukan pemerintah demi mengurangi jumlah perokok usia dini, langkah tersebut tidak tepat. Pasalnya, meski harga eceran rokok terus dinaikkan, jumlah perokok anak dan remaja terus naik dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Begitu juga dengan jumlah perempuan perokok yang semula 1,3 persen justru menjadi 4,8 persen," katanya.

Selain itu katanya, kenaikan cukai secara signifikan ini juga dikhawatirkan akan membuka peluang maraknya rokok ilegal tanpa pita cukai. Hal itu akan berdampak pada kerugian negara dan petani tembakau nasional.

Dita mencium aroma tak sedap dari rencana kenaikan tarif cukai rokok itu, yakni Kementerian Keuangan mengejar target penerimaan negara yang dipatok sebesar Rp 1.861,8 triliun di 2020. Maka itu, pemerintah membutuhkan pemasukan yang lebih besar.

"Dalam waktu dekat, kami akan beraudiensi dengan Menteri Keuangan untuk menyampaikan aspirasi ini. Jangan masyarakat yang dibuat menderita," kata Dita.

 

TERKAIT

    -